DZIKIR BERSAMA SETELAH SHALAT
DEFINISI
Secara Etimologi (Bahasa)
Adz-dzikrul al-Jama'ie atau dzikrul jamaah (dzikir bersama) terangkai dari dua kata:
Pertama, Dzikir secara bahasa berasal dari kata: (Dzakaro–yadzkuru–dzikron) Artinya: menyebut, mengucapkan, mengagungkan, mengingat-ingat.
Adz-dzikru berarti sesuatu yang mengalir melalui lisan. Terkadang diartikan dengan menyimpan sesuatu. Dzikir secara bahasa berarti mengingat. Dzikrullah berarti mengingat dengan memuji Allah. Al-Qur'an juga disebut dzikir, karena ia menjadi jalan mengingat Allah. Shalat juga disebut dzikir kaena ia media mengingat Allah.
Ar-Raaghib dalam “Al-Mufradat” menjelaskan: "Terkadang dzikir diartikan sebagai kondisi jiwa yang memungkinkanya menghafal pengetahuan yang didapatkannya."
Oleh sebab itu, ada dua jenis makna dzikir. Dzikir yang berarti ingat sesudah lupa, dan dzikir yang berarti ingat tanpa berkaitan dengan lupa, tapi karena lekatnya hafalan.
Kedua, Makna jama'ie yakni apa yang diucapkan oleh orang-orang yang berkumpul dengan satu suara saat melantunkan dzikir, apa yang diucapkan sebagian, sama dengan apa yang diucapkan sebagian yang lain (serempak).[6]
Secara Terminologi
Dzikir menurut syari'at adalah setiap ucapan yang dirangkai untuk tujuan memuji dan berdo'a. Yakni lafal yang digunakan untuk beribadah kepada Allah, berkaitan dengan pengagungan terhadap-Nya dan pujian terhadap-Nya dengan menyebut nama-nama atau sifat-Nya, dengan memuliakan dan mentauhidkan-Nya, dengan bersyukur dan mengagungkan dzat-Nya, dengan membaca al-kitab-Nya, dengan memohon kepada-Nya atau berdo'a kepada-Nya.[7]
Adapun pembahasan disini adalah bahwa dzikir jama'ie atau dzikir bersama yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Seperti dzikir bersama sesudah shalat-shalat wajib atau waktu dan kondisi lain yang mana berkumpul untuk bersama–sama melantunkan dzikir, do'a dan wirid di bawah komando satu orang maupun tanpa dikomando. Yang jelas mereka melantunkan dzikir tersebut secara serempak. Inilah fokus pembicaraan ini.
SEJARAH MUNCULNYA DZIKIR BERSAMA
Awal mula munculnya tradisi bersama adalah pada zaman shahabat lalu para sahabat mencegah bid'ah tersebut di awal kemunculannya, maka semakin surutlah penyebaran tradisi tersebut hingga akhirnya lenyap berkat upaya pencegahan yang dilakukan para ulama salaf terhadapnya.[8]
Di zaman pemerintahan al-Makmun, ia justru memerintahkan untuk menyebarkan tradisi tesebut. Ia menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad kala itu, yang berisi perintah agar dia menyuruh masyarakat muslim melakukan takbir (berjamaah) setiap selesai menjalankan shalat wajib lima waktu. Imam ath-Thabari meceritakan dalam tarikhnya berkaitan dengan beberapa peristiwa yang terjadi ditahun 216 H.
Pada itu al-Makmun menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim, memerintahkannya agar menyiapkan barisan tentara mengawasi kaum meslimin bertakbir sesudah shalat. Mereka memulanya di masjid al-Madinah dan ar-Rasafah pada hari jumat, selama 14 malam terakhir bulan Ramadhan, pada tahun itu juga.[9]
Sementara dalam tarikh Ibnu Katsir disebutkan, Pada tahun itu juga al-Makmun menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim Gubernur Baghdad kala itu,memerintahkannya agar menyuruh kaum muslimin untuk bertakbir setiap usai shalat lima waktu.[10]
Tradisi itu terus berkembang di kalangan kaum Syi'ah Rafidhah dan kalangan Sufi serta golongan-golongan yang terpengaruh oleh ajaran mereka.[11]
Pencipta pertama bid'ah takbir jama'i adalah Muadhad bin Yazid al-'Ajili dan teman-temannya di Kufah. Lalu Ibnu Mas'ud melarang mereka dan melempari mereka dengan kerikil. Yang demikian itu terjadi sebelum wafatnya Ibnu Mas'ud tahun 33 H. Dan sungguh mereka telah menghentikan perbuatan tersebut, sampai perbuatan itu kemudian dimunculkan lagi oleh kaun Sufi atau orang-orang Tasawuf pada masa Makmun (198 H-218 H/813-833 M) dan setelahnya, sedang masa itu ada orang tasyayyu' (syiah mengkultuskan Ali), dialah yang menciptakan bid'ah baru, bertakbir jama'i setelah shalat di masjid-masjid.[12]
CARA BERDZIKIR DAN MACAM-MACAMNYA
Karena dzikir merupakan ibadah, maka tidak akan diterima Allah kecuali dengan dua syarat:
Pertama, Ikhlas karena Allah.
Kedua, Sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah.
Allah ta'ala telah menetapkan cara berdzikir seperti yang terungkap dalam surat al-A'raaf: 205 dan Ali Imran: 191, bahwa dzikir itu dilakukan dengan khusyu' dan suasana lirih serta dalam kondisi duduk, berdiri dan tiduran. Dalam banyak kondisi disebutkan cara-cara dzikir Rasulullah tapi tak satupun yang menunjukkan dzikir bersama beramai-ramai dikomandoi oleh seorang komando.
Namun ada hadits umum yang bisa dipahami seperti do'a bersama secara keras seperti riwayat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: "Sungguh mengeraskan suara dalam dzikir ketika orang-orang (sahabat) selesai dari shalat adalah pernah terjadi di masa Nabi. Kemudian ia (Ibnu Abbas) berkata: "Aku mengetahui dzikir dengan keras setelah mereka selesai shalat dan aku mendengarnya".[13]
ý Menurut ulama ahli dzikir bahwa dzikir itu ada tujuh macam cara:
1. Dzikir mata dengan banyak menangis karena Allah.
2. Dzikir telinga dengan mendengarkan sesuatu yang diridhai Allah.
3. Dzikir lisan banyak menyebut dan memuji Allah.
4. Dzikir tangan dengan memperbanyak sedekah karena Allah.
5. Dzikir badan dengan menggunakan,menjalankan dan membela agama Allah.
6. Dzikir hati dengan menumbuhkan rasa cinta, takut dan harap kepada Allah.
7. Dzikir ruh dengan bertawakkal dan pasrah kepada Allah.
ý Sedangkan Ibnul Qayyiim menyebutkan dzikir dalam tiga hal:
1. Dzikrullah dengan kemantapan hati.
2. Dzikrullah dengan melalui ucapan lisan.
3. Dzikrullah dengan mendalami hukum–hukum Allah.
ARGUMEN MEREKA YANG MEMBOLEHKAN DZIKIR BERSAMA
Mereka berargumen sebagai berikut:
Pertama, Nash-nash syariat ynag menyebutkan tentang pujian bagi orang-orang yang suka berdzikir menggunakan lafal jama' (lebih dari dua orang), sehingga mengindikasikan adanya anjuran untuk berdzikir kepada Allah secara berjama'ah. Misalnya riwayat dalam shahih “Al-Bukhari” dan Muslim dari Abu Hurairah, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat yang sdelalu berjalan untuk mencari majelis-majelis dzikir. Ketika mendapatkan majelis yang di dalamnya ada dzikir, mereka akan duduk bersama orang-orang di situ. Mereka akan saling menaungi di antara mereka dengan sayapnya sehingga memenuhi ruang antara mereka dengan langit dunia. Saat majelis bubar, mereka pun terbang dan naik ke atas langit. "Perawi melanjutlkan: "Kemudian mereka ditanya oleh Allah. Padahal Allah lebih mengetahui daripada mereka ..: "Dari mana saja kalian ?" Mereka menjawab: "Kami datang dari suatu tempat disisi para hamba Mu di muka bumi. Mereka bertasbih kepada Mu, bertakbir, bertahlil dan bertahmid serta memohon kepada Mu. Di akhir hadits disebutkan bahwa Allah berfirman: "..Mereka telah diampuni dan Aku akan memberikan apa yang mereka mohon, Aku pun akan memberikan perlindungan kepada mereka seperti yang mereka minta".[14]
Mereka yang memperbolehkan dzikir bersama berpandangan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan berdzikir secara berjamaah dan dengan suara keras, dilakukan oleh seluruh orang-orang yang ikut berdzikir.
Kedua, Banyak hadits-hadits lain yang diriwayatkan berkaitan dengan keutamaan majelis dzikir, diantaranya adalah:
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Hurairah berkata: Rasululah bersabda: Allah ta'ala berfirman: "Aku tergantung persangkaan hamba-Ku. Dan Aku selalu bersama hamba-Ku, selagi ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir sendirian, maka akupun mengingatnya sendirian. Kalau ia berdzikir kepada-Ku di tengah keramaian, maka Aku pun akan mengingatnya di tengah keramaian yang lebih baik lagi".[15]
Sisi pengambilan dalil dalam riwayat tersebut adalah ucapan: "… Kalau ia berdzikir kepada-Ku di tengah keramaian, menunjukkan diperbolehkannya dzikir berjamaah.[16]
ARGUMEN MEREKA YANG MELARANG DZIKIR BERSAMA
Argumen mereka adalah, sebagai berikut:
Pertama, Dzikir bersama tidak pernah diperintahkan oleh Nabi dan tidak pula beliau anjurkan kepada kaum muslimin. Sekiranya beliau memerintahkan atau setidaknya menganjurkannya, tentu akan diriwayatkan dari beliau. Tapi ternyata tidak ada riwayat dari beliau tentang do'a berjamaah usai shalat bersama para shahabat beliau.
Imam asy-Syathiby mengatakan: "Do'a bersama yang dilakukan secara rutin tidak pernah dilakukan oleh Rasululaah".[17]
Kedua, Berdasarkan apa yang dilakukan oleh kaum salaf dari kalangan shahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka menegur orang yang melakukan bid'ah semacam itu.
Ketiga, Nash-nash umum yang berisi larangan berbuat bid'ah dalam agama, seperti hadits Aisyah secara marfu':
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
Artinya: "Barangsiapa yang mengada–adakan suatu amalan dalam ajaran agama kita yang tidak ada syari'atnya, maka amalan tersebut tertolak".[18]
Keempat, Pendapat yang mengatakan dianjurkan dzikir bersama berarti sengaja meralat syari'at Nabi. Karena para pelaku bid'ah itu membuat hukum baru yang tidak ditetapkan sebagai syari'at oleh Nabi. Padahal Allah telah berfirman: "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk merekaagama yang tidak diizinkan Allah".[19]
Kelima, Diantara dalil para ulama yang melarangnya melihat bahwa dzikir bersama itu menyerupai kebiasaan kaum Nashrani yang biasa yang berkumpul di gereja-gereja untuk melakukan kebaktian, menyanyikan lagu keagamaan secara bersamaan. Padahal banyak sekali dalil dalam al-Qur'an dan hadits yang secara tegas melarang meniru ahli kitab, bahkan memerintahkan kita membedakan diri dari mereka.
Keenam, Diantara dalil orang–orang yang melarang dzikir bersama adalah bahwa dzikir bersama bisa menimbulkan banyak kerusakan yang bisa terhindar ketika amalan itu dilarang. Apalagi amalan tersebut dianggap mengembangbiakkan berbagai manfaat sebagaimana yang diklaim oleh pihak yang memperbolehkannya.
HUKUM DZIKIR BERSAMA
Pendapat para ulama mengenai dzikir bersama:
1. Imam Alaa-uddin al-Kaasaani al-Hanafi dalam bukunya “Bada I'ush Shanaa-ie fii Tartiebsy Syaraa-ie”[20] dari Abu Hanifah berkata: "Mengeraskan suara takbir pada asalnya adalah bid'ah, karena takbir adalah dzikir. Sunnahnya dzikir diucapkan dengan suara lembut.Nabi bersabda:
"Do'a yang terbaik adalah yang diucapkan dengan suara lembut".[21]
2. Sikap madzhab Imam Malik terhadap dzikir bersama, disebutkan dalam kitab “Ad Durrats Tsamin” karya asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah. Imam Malik beserta ulama membenci kebiasaan para imam yang memimpin para jamaah masjid untuk berdo'a bersama dengan suara keras di setiap selesai shalat wajib.[22]
3. Al-Imam asy-Sathiby telah menukil dalam kitabnya “Al I'tishaam” tentang kisah seorang laki-laki dari kalangan pembesar kerajaan yang terhormat, terkenal dengan sifat keras dan kasar. Laki-laki itu singgah di sebuah rumah tetangga Ibnu Mujahid. Sementara Ibnu Mujahid tidak pernah berdo'a setiap selesai melakukan shalat wajib lantaran ia berpegang pada madzhab Imam Malik yang mengatakan makruh.[23]
4. Al-Imam an-Nawawi dalam “Al-Majmuu'” berkata: "Imam Syafi’i beserta para pengikutnya sepakat atas disunnahkannya berdzikir setiap selesai shalat. Hal ini disunnahkan bagi seorang imam, makmum, sendirian, laki-laki, perempuan, orang musafir dan lainnya. Adapun kebiasaan orang-orang atau kebanyakan mereka yang mengkhususkan do'a seorang imam dalam dua waktu shalat, yakni shubuh dan ashar tidak ada dalilnya.[24]
Imam an-Nawawi sendiri dalamm kitab “Tahqiq” dimana beliau berkata: "Disunnahkan berdzikir dan berdo'a dengan suara rendah setiap selesai shalat. Dan jika seorang imam ingin mengajari para makmum, boleh baginya mengeraskan dzikirnya, dan apabila mereka sudah mengerti, imam itu kembali merendahkan suara dzikirnya.[25]
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Berkumpul untuk membaca al-Qur'an, berdzikir dan berdo'a adalah perbuatan baik dan disunnahkan, selama hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan rutin seperti halnya cara-cara berkumpul yang disyariatkan dan selagi tidak dicampuri dengan bid'ah yang munkar".[26]
SISI BURUK DZIKIR BERSAMA
- Menyelisihi petunjuk Nabi dan para shahabatnya. Karena sesungguhnya tidak ada satu hadits pun yang telah dinukil dari mereka mengenai hal itu.
- Menghilangkan sikap sopan dan beradab. Karena dzikir bersama itu seringkali menyebabkan tubuh seseorang bergoyang, bahkan terkadang menari dan melakukan hal sejenis itu.
- Mengganggu orang yang sedang shalat dan yang membaca al-Qur’an. Hal itu terjadi apabila dzikir bersama dilakukan di dalam masjid.
- Seringkali orang-orang yang melakukan dzikir tersebut memenggal ayat al-Qur’an tidak pada tenpatnya
- Membiasakan dzikir bersama seringkali menggiring sebagian orang jahil dan awam untuk meninggalkan dzikir kepada Allah ketika belum mendapatkan teman untuk dzikir.
- Sesungguhnya memberikan peluang dzikir bersama, terkadang menggiring masing-masing golongan untuk mengikuti dzikir seorang syaikh tertentu dan menirukan apa yang diucapkannya.
- Menjatuhkan wibawa dan karisma yang seharusnya dijaga oleh seorang muslim.
KESIMPULAN
Bahwa dzikir secara bersama-sama setelah melaksanakan sholat adalah perkara yang bid'ah, tetapi bila tujuannya untuk mengajari orang lain sesekali saja maka hal itu diperbolehkan, tetapi tidak dilakukan setiap hari. Wallahu A'lam Bisshawab.
[2] Muhammad bin Abdurrahman bin Al Khumais.Dzikir bersama bid'ah atau sunnah?,Hal:26 yang dinukul dari Al Qaamuusul Muhieth (507) dan lisanul 'Arab oleh Ibnu Manzhur Jilid 5,Hal:48.
[4]Muhammad bin Abdurrahman bin Al Khumais.Dzikir bersama bid'ah atau sunnah?,Hal:26.
[5]Muhammad bin Abdurrahman bin Al Khumais.Dzikir bersama bid'ah atau sunnah?,Hal:27.Yang dinukil dari mufradaat oleh Ar Raaghib,Hal:328.
[8]Muhammad bin Abdurrahman bin Al Khumais, Dzikir bersama bid'ah atau sunnah?, Hal: 29.
[12] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan paham sesat diindonesia, hal: 272, yang dinukil dari Al Bidayah Wan Nihayah 10/270.
[13] Diriwayatkan oleh Bukhori dalam fathul Bari II/378-379 dan Muslim dalam syarh Nawawi 5/236-237 dan begitu juga Abu Dawud
[17]Al I'thisam jilid:I,Hal:219.
[21] Dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnad nya III:44 Abu Ya'la dalam musnadnya II/81 dan 731,Ibnu Hibban dalam shahihnya III/91 dan 809 dan dikelurkan oleh Al Haitsami dalam majma' Az Zawaaid 10/81.Ia berkata:Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya'la,dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdurrahman bin Labib,ia dianggap sebagai perawi yang dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban,namun dianggap lemah oleh Ibnu Ma'in.Sisa perawinya adalah para perawi ash shahih.
[22] Kitab Ad durrats tsaminwal maurodul mu'ayyan,karya Asy Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah,Hal:173,212.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar