Rabu, 02 November 2011

Peringatan Bungkus Rokok Harus mencanyumkan gambar "" Horor ""

Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memaksa setiap industri rokok memampang peringatan bahaya merokok berupa gambar, tidak sekadar tulisan. Namun seperti apa peringatan berbentuk gambar tersebut tidak disebutkan oleh MK.

Kemasan rokok beberapa hari lagi akan berubah. Jika selama ini hanya mencantumkan bahaya dalam bentuk tulisan, kini bungkus harus memuat peringatan dalam bentuk gambar. Tidak hanya itu, kemasan rokok juga harus mencantumkan peringatan dalam huruf braile.


Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta meminta agar gambar peringatan bahaya merokok tersebut dibuat 'menakutkan'.
Sebelumnya dalam penjelasan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi :

Yang dimaksud dengan peringatan kesehatan dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya.

Kata 'dapat' dianggap menimbulkan kerancuan karena peringatan bahaya merokok berbentuk gambar bersifat pilihan bukan kewajiban. Dengan dihapuskannya kata 'dapat', maka selanjutnya bunyi penjelasan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 menjadi: 




Yang dimaksud dengan peringatan kesehatan dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan disertai gambar atau bentuk lainnya.

Artinya, dengan dihapuskannya kata dapat, peringatan bahaya merokok pada setiap kemasan atau bungkus rokok harus berupa tulisan dan gambar. Dan keduanya adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Sehingga ke depan setiap bungkus rokok diwajibkan menempelkan peringatan berbentuk gambar, tidak sekedar tulisan.
Selain itu mahkamah juga menyatakan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga setelah putusan ini, Pasal 199 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Permohonan diajukan oleh ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Brata beserta sebelas rekannya. Mereka menguji Pasal 113 Ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 Ayat (1). Dalilnya, pasal-pasal tersebut diskriminatif, tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak, dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil.


Mahkamah berpendapat bahwa pencantuman peringatan kesehatan tidak menghalangi apalagi menghapus hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dalam usaha bidang rokok. Mereka tetap bisa memproduksi dan memperjualbelikan produk tembakau, namun mahkamah juga mengakui bahwa pemuatan peringatan kesehatan akan dapat mempengaruhi pendapatan para pelaku industri.

Mahkamah juga menolak dalil bahwa norma tersebut diskriminatif. Karena diskriminasi hukum hanya menyangkut persoalan subjek hukum (manusia), bukan objek hukum. Rokok bukanlah subjek hukum sebagai pendukung hak, tetapi sebagai objek hukum yang berupa benda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar